Bioskop Ria Tempo Doelo |
Kegiatan Apresiasi Film Indonesia ke-3 digelar di Istanan Maimun, 13 September lalu,
berjalan sukses menyedot perhatian insan film dan masyarakat Kota Medan. Salah satu stand yang ramai dikunjungi di event ini, adalah
stand tentang sejarah perkembangan perfilman di Kota Medan. Di stand ini,
pengunjung bisa
mengamati bagaimana sejarah perkembangan perfilman di Kota
Medan.
Dari berbagai sumber diperoleh, film ternyata sudah
mulai diputar di Kota Medan, sejak tahun
1940-an, semasa kedudukan kolonial. Film yang pernah diputar kala itu, yakni Loetoeng
Kasaroeng, Eulis Atjih, Lily Van Java, Resia Boroboedoer, Setangan Berloemoer Darah, Njai Dasima, Rampok Preanger, Si Tjonat dan De Stem
Des Bloed (njai siti). Kemunculan film di Medan kala itu juga menjadi awal
kemunculan bioskop di Kota Medan.
Fanny Handayani, ketika masih kuliah di Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara (USU), pernah menulis Sejarah Bioskop di Kota Medan,
sebagai sekripsinya. Dari penggalian data yang dilakukannya dari berbagai sumber,
bioskop ternyata sudah berkembang di Kota Medan sejak tahun 70-an, dengan hadirnya Bioskop Deli,
Riix Bioskop, Bioskop Capitol, Bioskop Morning, Orion Bioskop, Riu Bioskop,
Bioskop Medan, Caty Bioskop, Orange Deli Bioskop dan Olimpia Bioskop.
Saat itu kondisi gedung bioskop masih sederhana dan tidak
luas. Namun demikian, kehadiran bioskop berhasil menarik perhatian
masyarakat pada masa itu. Bahkan, bioskop tidak pernah sepi dari penonton.
Sementara di tahun 80-an, bioskop sudah berdiri di lahan sendiri dan tidak
bergabung dengan bangunan lainnya. Bioskop juga telah memulai membuat iklan tentang penayangan
jam tayang dan juga melakukan tayangan perdana bagi film-film baru yang
ditayang pada tengah malam.
Dengan diadakannya iklan dan pemutaran perdana membuat
masyarakat penasaran dan akhirnya berbondong-bondong datang ke bioskop.
"Kalau pada tahun 1990-an kita lebih mengenalnya dengan
kata midnight, harga tiketnya yang dijual juga berbeda karena film baru yang
ditayangkan jadi harga tiket jadi lebih mahal," ungkap Fanny Handayani.
Fanny Handayani, menyebutkan, di tahun 80-90-an bioskop
banyak memutar film asing, seperti film Tamil atau film India, film Barat dan
Film Malaysia. Film-film ini juga disaingi oleh film-film nasional.
Hermes XX1. Foto: |
Berbeda seperti saat ini, gedung bioskop dikombinasikan
dengan keberadaan pusat perbelanjaan seperti mall. Namun, seiringnya waktu dan
semakin ketatnya persaingan, bioskop lama secara berlahan-lahan akhirnya banyak
berhenti beroperasi.
Menurut Fanny Handayani, maju mundurnya dunia perbioskopan di
Indonesia lebih disebabkan persaingan oleh perkembangan dunia televisi dan
teknologi. Televisi mulai banyak digunakan masyarakat umum sehingga
mengurangi intensitas masyarakat untuk datang nonton film ke bioskop, apalagi beberapa
film sudah mulai sering diputar di televisi.
"Bagaimanapun juga bioskop telah memiliki paranan yang
cukup penting bagi perkembangan dunia perfilman di Indonesia, karena bioskop
merupakan salah satu wadah untuk memperkenalkan film-film Indonesia
pada masyarakat umum," pungkasnya.
Komentar