Rumah adat merupakan bagian sejarah dan identitas keberadaban, budaya dan kehidupan masyarakat suku Karo. Arsitektur dan ornamen pada dinding rumah bisa melukiskannya.
Suhu dingin masih berhembus lembut di permukaan kulit begitu tiba di Desa Budaya Lingga, Kecamatan Simpang
Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara,
Rabu menjelang sore awal Oktober lalu.
Secara geografis Desa Budaya Lingga terletak di ketinggian
sekitar 1.200 meter dari permukaan laut,
lebih kurang 15 km dari Brastagi dan 5
km dari Kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo.
Meski hanya sebuah desa yang penduduknya mayoritas adalah
petani, Desa Budaya Lingga, menjadi salah satu destinasi pariwisata di Kabupaten
Karo yang sering dikunjungi turis lokal hingga mancanegara.
Selain alamnya yang asri, dihiasi hamparan perkebunan buah
dan sayur mayur nan hijau dengan
pemandangan Gunung Sinabung, daya tarik yang tersimpan di desa ini masih bisa
ditemui rumah adat Karo yang sudah berusia ratusan tahun.
Dahulu rumah adat Karo di sini masih banyak berdiri. Namun
karena menjadi warisan, oleh ahli waris dibagi dan akhirnya berubah bentuk
menjadi rumah biasa. Sebahagian lagi, kondisinnya sudah rusak dimakan
usia.
Namun jejak rumah adat, sebagai simbol keberadaban suku
Karo, masih bisa terlihat dari tiga
bagunan adat Karo kuno yang hingga saat ini masih kokoh berdiri. Ketiga
bangunan itu, yakni Rumah Adat (Rumah
Gerga) 12 Jabu, Rumah Belang Ayo dan Sapo Ganjang yang lokasinya saling
berdekatan. Khwatir bangunan tua ini berubah bentuk atau hancur dimakan usia,
Pemerintah Kabupaten Karo akhirnya menetapkannya sebagai cagar budaya, sejak 10
tahun lalu.
Rumah Gerga didirikan sekitar tahun 1860 lalu oleh Raja Urung Sibayak Lingga. Sebahagian besar masyarakat menyebutnya, 12 jabu yang artinya dihuni oleh 12 keluarga di dalamnya.
Tidak jauh dari Rumah Adat Raja Urung Sibayak Lingga,
terdapat Rumah Belang Ayo didirikan Sinulingga Rumah Jahe dan anak beruna
sekitar tahun 1862 yang didalamnya dihuni untuk 8 keluarga.
Selain itu terdapat bagunan tua bernama Sapo Ganjang,
didirikan tahun 1870 yang digunakan sebagai tempat musyawarah dan tempat penyimpanan
padi, namun kini oleh komunitas Sinulingga di facebook difungsikan menjadi Taman
Bacaan Anak-anak.
Arsitektur dan Ornamen
Unik
Di antara ketiga bangunan ini, rumah Raja Urung Sibayak
Lingga paling banyak disinggahi para turis. Selain karena usianya paling tua, tanpilan rumah ini
lebih memukau dibanding yang lain. Hal itu bisa dilihat dengan berbagai ukiran
ornamen menghiasi dinding rumah ini.
Setiap ornamen mengandung makna tersendiri sebagai simbol
kearifan masyarakat suku Karo serta memberikan kesan keagungan dan keindahan.
Tidak jauh berbeda dengan Rumah Belang Ayo, di bagian bawah
rumah terdapat kolong yang dahulu digunakan sebagai kandang ternak dan menyimpan
kayu bakar.
Keunikan lain dari rumah ini, dapat terlihat dari penyanggah rumah, dinding terbuat dari bahan kayu yang bersambungan tanpa menggunakan paku dengan hanya diikat dengan menggunakan tali ijuk.
Konon pada zaman dulu, arsitek suku Karo sudah
memiliki kemampu dalam merancang daya tahan rumah, misalnya, pada palas antara
batu pondasi dan tiang kayu penyangga rumah, dilapisi batang ijuk yang gunanya
bila digoyang gempa, maka rumah akan mengikuti arah goyangan.
Pada bagian teras rumah, tangga dan penyangga atap, dibuat
dari bambu. Sedangkan atap rumah sendiri, semuanya menggunakan ijuk. Di bagian
paling atas atap rumah adat, kedua ujung atap masing-masing dilengkapi dengan
dua tanduk kerbau. Dahulu, masyarakat adat Karo mempercayai tanduk kerbau
sebagai penolak bala.
Sementara di dalam rumah terdapat 12 kamar yang artinya, 1 keluarga
1 kamar. Hampir di depan setiap pintu tersedia dapur. Salah satu kamar di sini sempat dihuni Raja
Urung Sibayak Lingga yang konon hidup berpoligami.
Awalnya rumah Gerga ini dihuni oleh 12 keluarga, namun kini
hanya dihuni salah satu keturunan Raja Urung Sibayak Lingga, Damson Tarigan dan
istrinya, Januwarti boru Sitepu (42), bersama empat orang anaknya. Sayangnya, saat mengunjungi rumah
ini, hanya Januwarti yang terlihat.
"Pantang kalau rumah kita kosong karena kita takut rusak
dibuat rayap. Pengawatnya asap, makanya
saya memasak tidak pakai elpiji," kata Jawarita yang sedang sibuk memasak
untuk persediaan santap malam.
Tak jauh dari tempatnya duduk, terdapat semacam kotak kayu
yang tersusun dari kayu yang disebut
Para tersusun tiga. Para ganjang digunakan
sebagai tempat penyimpanan kayu api, para tengah digunakan untuk menyimpan
perkakas dapur dan para lubang digunakan untuk menyimpan masakan seperti ikan,
sayur dan sebagainya.
Keunikan arsitektur, keindahan ukiran ornamen dan kekuatan
rumah inilah, membuat para turis asing terpukau. Setiap turis asing yang datang
pun meninggalkan berbagai cerita tersendiri akan rasa kagumnya.
Januwarti mengingat, terakhir pada Oktober 2013 lalu, seorang
turis dari Belanda sempat tinggal selama tiga bulan dan ikut merenovasi rumah
ini. Selain itu, seorang warganegara Amerika Serikat pernah menginap selama
lima hari hanya khusus untuk mencari kayu, seperti kayu yang digunakan di rumah
ini.
Tak cukup hanya itu, seorang turis asing juga pernah
menyampaikan niatnya untuk membeli rumah ini senilai Rp1 miliar untuk dijadikan
villa pribadi. "Tapi kami menolak. Ini tradisi kami. Saya harus
mempertahankannya," ujar Januwarti.
Selain sering dikunjungi turis asing, Januwarti menyebutkan,
anak sekolah, kalangan mahasiswa dari Kota Medan tempat juga sering sering
menginap di sini.
Januwarti berharap Pemerintah Kabupaten Karo serius untuk melestarikan rumah adat yang masih tersisa di
desanya, karena merupakan peninggalan sejarah. (Midian Coki|MID MAGZ)
Link: garuda-indonesia.com, www.pegipegi.com, www.traveloka.com
Link: garuda-indonesia.com, www.pegipegi.com, www.traveloka.com
Komentar