Melawan Penjajah Melalui Musik

Lily Suhairy dikenal sebagai pahlawan dan musisi Sumatera Utara di era perjuangan  meraih kemerdekaan. 

Sebuah pesawat Sekutu menungkik dan memberondong secara membabi buta Stasiun Kereta Api Aras Kabu, Batang Kuis, Kabupaten Deliserdang. Puluhan orang tewas termasuk diantaranya salah satu dari rombongan musisi tergabung dalam Orkes Studio Medan (OSM) yang ketika itu sedang bersiap-siap hendak menuju Pematangsiantar untuk mengadakan pertunjukan musik. 


Suasana hiruk-pikuk di stasiun kereta api pagi itu akhirnya berubah menjadi isak tangis. Lily Suhairy, duduk terdiam dan berlinang air mata melihat seorang rekannya, Miss Diding sudah tak bernyawa lagi.

Peristiwa itu tak pernah hilang dari ingatan Lily Suhairy hingga akhir hidupnya.  Untuk menghormati para korban, Lily kemudian menuangkan peristiwa tragis itu  dalam sebuah karya musiknya berjudul Aras Kabu.  Melalui instrumen pada musik ini, Lily menyampaikan pesan,  agar  masyarakat  Indonesia tidak hanyut dalam kesedihan dan putus asa dalam perjuangan  meraih kemerdekaan.   

Di kalangan musisi dan seniman Tanah Air dari era tahun 1940-an, Lily Suhairy, sangat dikenal sebagai seorang tokoh komponis dan pejuang yang jujur. Karya- karyanya, sempat  memasyarakat di era perang kemerdekaan. Salah satu karyanya yang cukup populer berjudul Pemuda Indonesia. Lagu ini sempat membuat  Lily Suheiry ditangkap dan disiksa oleh Nederland Indie Administration (NICA) serta ditahan selama tiga bulan. Lily sangat dikenal dengan karya musiknya yang mengambarkan semangat untuk berjuang meraih kemerdekaan. 

Tidak hanya itu, di masa kedudukan Jepang, Lily juga sempat ditangkap oleh Kompetai  merupakan pasukan rahasia Jepang karena lagunya “O Bayang” bernada anti Jepang disiarkan oleh pemuda Indonesia di Radio Jepang Hoso Kiyoku.  

Pria kelahiran Bogor,  23 Desember 1915, sejak kecil sudah lebih menyukai kesenian daripada harus tekun dengan pelajaran sekolah. Meski demikian, dia sempat menyelesaikan  Mulo–-sekolah setingkat SMP. Ketika berusia 1 tahun, dia dibawa kakek dan ibunya pindah ke Kota Brastagi, Sumatera Utara.  Seorang warga Belanda merupakan majikan kakeknya, terkagum melihat bakat musik Lily Suhairy.  Warga Belanda tersebut kemudian menyekolahkannya kepada seorang warga Jerman untuk mendalami musik.   

Karena kemampuannya dalam musik yang tinggi, diterima bekerja di sebuah  perusahaan rekaman “His Masters Voice” di Singapura pada tahun 1943.  Namun, tiga tahun kemudian, dia memilih mengembangkan bakat musisinya di Kota Medan. Semasa hidup, Lily telah mengubah sebanyak 182 lagu dengan warna langgam Melayu, diantaranya,  lagu Bunga Tanjung, Bunga Teratai, Selendang Pelangi, Rayuan Kencana dan Aras Kabu disebut sebagai lagu lagu besar yang lahir pada zaman perang kemerdekaan. 

Memiliki rasa juangan yang tinggi untuk meraih kemerdekaan melalui sarana musik akhirnya membuatnya mendapatkan penghargaan, sebanyak dua kal. Pertama,  pada tahun 1975 oleh PWI Cabang Medan dan kedua penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Daoed Joesoef,  Maret tahun 1979 di Jakarta.

Lily wafat di Rumah Sakit Kodam I Bukit Barisan, Medan, pada 2 Oktober 1979 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jalan Sisingamangaraja, Medan.  Sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan dan karya-karyanya, H Adnan Lubis, mantan Direktur Radio Alnora, sahabat Lily Suhairy menulis buku berjudul “Lily Suhairy dalam Kenangan”.  
Coki Simatupang dan Berbagai Sumber

Komentar