Menonton Film Karya Ponti Gea


Ponti Gea sudah menggeluti usaha perfilman sejak tahun 2006 lalu. Dia mengangkat keunikan budaya lokal Sumatera Utara,  dalam setiap karya filmnya di bawah bendera CZ Entertainment.  
REPRO:FB PONTI GEA























Berlahan tapi pasti. Demikian dikatakan Ponti Gea, lika-liku bisnis industri perfilman yang saat ini sedang digelutinya sampai saat ini.


Sosoknya memang belum sepopuler produser atau sutradara film papan atas di Tanah Air. Namun, Ponti setidaknya sudah membuktikan, bahwa putra daerah mampu berkarya di industri perfilman di Sumatera Utara.    

Bukti itu sudah ditunjukannya dengan film karyannya: 21 episode dengan lima judul film budaya Nias dan enam episode dengan tiga judul film budaya Batak yang sudah beredar. Itu belum temasuk lagu Nias sebanyak 13 album dan lagu Batak 1 album yang digarapnya.

Tak puas karya filmnya dituang dalam wadah CD/DVD, Ponti punya ambisi membuat film budaya hingga ke layar lebar bila mendapat bantuan dari pihak sponsor.

Dalam penggarapan setiap filmnya, Ponti merangkap sebagai sutradara dan produser. Sebagai produser, tentu saja Ponti harus menanggung seluruh biaya mulai dari perencanaan, persiapan produksi dan pasca produksi hingga realse. 

Dari pengalaman Direktur CZ Entertainment ini, untuk pembuatan satu buah judul film membutuhkan waktu sampai tiga bulan dengan biaya produksi Rp200-300 juta.

Selain biaya produksi, dia juga harus membayar honor tenaga sumber daya manusianya yang tergolong lumayan banyak. Salah satu yang selalu diingatnya, pada saat pembuatan film semi klausal “Junuran Tinggi” di Nias, hingga membutuhkan crew sebanyak 800 orang.

"Honor SDM kita bayar sendiri. Tunggu beredar baru kita bayar," ungkap pria ramah ini saat ditemui di kantornya, Kamis akhir Agustus lalu.

Meski honor baru bisa dibayar di belakang, Ponti tidak pernah mendapat protes dari para crew. Pasalnya, bisa dilibatkan dalam penggarapan film, membuat kebanggaan dan pengalaman tersendiri bagi para crew.

"Intinya, bagaimana kita mengukir talenta dalam diri sesorang (crew) yang punya hobi di perfilman walapun dengan laba sangat minim," terangnya.

Usaha Ponti pun tidak sia-sia. Pelan tapi pasti, karya filmnya diterima masyarakat. Meski masih beredar di Sumut, tidak sedikit film karyanya laris manis terjual.

Film Nias berjudul ONO SITEFUYU (Anak Sesat) yang dirilis sebanyak 11 episode misalnya, laku terjual lebih 200.000 keping CD/DVD. Film lain yang penjualannya melejit adalah film Batak berjudul Anak Sasada. 


Menurut Direktur CZ Entertainment ini, pasar industri perfilman di Sumatera Utara, sangat menjanjikan, terutama film yang berbau dengan kehidupan sosial dan budaya karena langsung menyentuh masyarakat. 

"Main sendiri tidak gampang, berlahan tapi pasti," ungkapnya.

Kendati demikian, kata Ponti, industri perfilman di Sumatera Utara  akan maju lagi bila ada uluran tangan dari pihak sponsor. "Bila mengharapkan home industri itu akan sulit, agak susah melangkah ke nasional. Jadi kita juga sangat mengharapkan uluran tangan dari para sponsor," tukasnya. Coki Simatupag|MID MAGZ

Komentar