Dari Belanda Menelusur Sejarah Medan


Satu dari sedikit orang yang memiliki perhatian terhadap sejarah Medan adalah Dirk A Buiskool. Kegairahan menyingkap cerita lama Medan membuatnya meninggalkan negeri Belanda. Di kota ini ia telah menetap selama lebih dari 20 tahun. Rentang waktu tersebut digunakannya meneliti dengan spesialisasi Tionghoa Medan.

“Penelitian sejarah membutuhkan kekhususan. Spesialisasi. Dan saya memilih sejarah Tionghoa Medan sebagai subyek penelitian,” jelas Dirk kepada Medan Look. Perbincangan di Restoran Omlandia miliknya mengalir di antara semilir angin Namorambe dan hijau sekitar.

Dirk menuturkan, perjalanan pertamanya ke Indonesia terjadi tahun 1988. Tujuannya murni jalan-jalan yang didorong rasa penasaran. Banyak orang di negeri asalnya kerap bercerita tentang Indonesia termasuk Medan. “Orang Belanda akan tetap datang ke Indonesia dan Medan,” sebutnya pasti.

Banyak orang Belanda yang punya ikatan dengan Indonesia. Jumlahnya bahkan sampai ratusan ribu. Termasuk keluarga Dirk. Seorang paman dari pihak ayahnya pernah menjadi hakim di Padang, Sumatera Barat. Ikatan ini terkait dengan masa kolonialisme Belanda di Indonesia.

“Salah satu penulis dan esais Belanda, Rudy Kousbroek, lahir di Pematangsiantar. Ia sangat dikenal di Belanda,” ujar alumni Groningen State University, Groningen, Belanda ini.

Dirk kemudian beranjak menuju ruang kerjanya yang tak jauh dari tempat kami berbincang. Saat kembali, ia membawa setumpuk buku. Amir Hamzah Heimwee Gedichten ia perlihatkan. Buku ini berisi kumpulan puisi Amir Hamzah yang disusun Rudy Kousbroek bersama kritikus sastra A Teeuw.

Sejarah dan Buku
Kesempatan Dirk kembali ke Medan datang 2 tahun kemudian. Ia mengajukan proposal ke sebuah lembaga untuk mengajar di Medan. Lembaga tersebut menyetujui dan bersedia menjadi sponsor. Dirk lantas terbang meninggalkan kampung halaman. Ia mengajar mata kuliah Sejarah dan Pemikiran Eropa di Universitas Sumatera Utara (USU).

Layaknya sejarahwan, Dirk melakukan penelitian. Hasil penelitian kemudian ia bukukan. Buku pertama ia tulis tahun 1994 berjudul Tours Through Historical Medan and Its Surroundings. Buku ini memuat spot-spot wisata sejarah di Medan dan daerah sekitar Medan.

“Dari semua kota di Indonesia, Medan tergolong kota yang masih memiliki banyak bangunan bersejarah. Ini harus dilestarikan,” ucapnya. Ia prihatin banyak bangunan sejarah yang dihancurkan karena alasan ekonomi. Padahal bangunan tua bisa dimanfaatkan secara ekonomi, misalnya cafĂ©, restoran, dan toko.

Kegelisahan Dirk atas kondisi bangunan tua dan situs sejarah di Medan tak hanya ia sampaikan melalui buku atau tulisan. Seminar-seminar terkait bangunan sejarah kerap ia sambangi. Di sana ia bersuara. Meminta agar masyarakat Medan bersama pemerintah menaruh perhatian serius terhadap keberadaan saksi kota ini.

Tahun 1999 Dirk menerbitkan buku kedua. De Reis van Harm Kamerlingh Onnes. Buku ini berisi perjalanan Harm Kamerlingh Onnes yang mengikut pamannya, Dolf Kamerlingh Onnes, ke Medan. Dolf bekerja sebagai rekanan Tjong A Fie dalam mengelola perkebunan tembakau.

Dikisahkan, Harm sering menulis surat kepada keluarganya di Belanda. Surat-suratnya tak hanya bercerita tentang perjalanan bersama sang paman, tapi suasana Medan saat itu. Harm juga menyertakan sketsa-sketsa – bangunan dan kehidupan sosial masyarakat Medan – dalam surat-suratnya.

“Keluarga Kamerlingh merupakan keluarga jenius. Paman Harm, abang Dolf, yang bernama Heike Kamerlingh Onnes seorang fisikawan peraih Hadiah Nobel. Ia berteman dekat dengan Albert Einstein,” tambah Dirk.

Tulisan-tulisan Dirk juga dimuat di beberapa buku. Seperti Medan Beeld van een Stad (1997), The Dutch Encounter With Asia 1600-1950 (2002), Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia (2005), dan Journal of The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (2009).

Dirk lantas memperlihatkan satu persatu buku-bukunya tersebut yang ia bawa bersama Amir Hamzah Heimwee Gedichten. Halaman demi halaman ia buka. Beberapa gambar dan tulisan ia jelaskan. Dari keseluruhan tulisan tampak bahwa Medan masa lalu sangat indah. Tak salah bila sebutan Parisj van Sumatra dulu dilekatkan pada kota ini.

“Tahun depan saya berencana meluncurkan buku tentang Tionghoa Medan,” buka Dirk. Buku ini merupakan hasil penelitiannya tentang kehidupan masyarakat dan tokoh-tokoh Tionghoa di Medan dari tahun 1890 sampai 1942.

Duet Bersama Sang Istri
Aktivitas mengajar dan meneliti tak sepenuhnya menyita waktu Dirk. Bersama istri, Diana Pardamean, ia menjalankan bisnis. Usaha pertama yang mereka dirikan adalah Tri Jaya Tour and Travel tahun 1991. Usaha ini tak lepas dari latar belakang pekerjaan Diana sebagai tour guide.

Diana lahir di Padangsidempuan pada 1962. Melewati masa kanak-kanak di Sibolga dan pindah ke Medan tahun 1968. Tahun 1980 ia memulai pekerjaannya sebagai tour guide. Dari seorang misionaris Belanda ia mempelajari bahasa Belanda. Akhirnya Diana juga menjadi guide bagi turis-turis Belanda.

Dari pekerjaan sebagai tour guide ini Diana berkenalan dengan Dirk. Mereka menikah dan dianugerahi 2 orang anak. “Anak tertua sekarang tinggal di Belanja,” ucap Dirk.

Sembilan tahun setelah membuka Tri Jaya Tour and Travel, mereka membuka bisnis penginapan dengan mendirikan Hotel Deli River. Penginapan keluarga ini berada satu kompleks dengan Tri Jaya Tour and Travel di Jalan Raya Namorambe No 129. Di kompleks itu pula kemudian mereka mendirikan Restoran Omlandia.

“Penelitian sejarah adalah penelitian tentang manusia. Meneliti manusia sangat menarik sebab setiap manusia unik,” ujar Dirk saat mengakhiri perbincangan. Waktu 2 jam berlalu tak terasa. Um… Berarti manusia Medan pun unik. Keunikan itu akan lebih berarti jika mereka kompak menjaga situs-situs sejarah di kotanya agar tetap lestari.(Bono Emiry)

Komentar